How To Forward Email

| 0 comments

From Traffic Manager

A friend who is a computer expert received the following directly from a system administrator for a corporate system. It is an excellent message that ABSOLUTELY applies to ALL of us who send e-mails. Please read the short letter below, even if you're sure you already follow proper procedures.

Please share it with your email buddies!
Do you really know how to forward e-mails? Most of us DO NOT know how. Do you wonder why you get viruses or junk mail? Do you hate it? Every time you forward an e-mail, there is information left over from the people who got the message before you -- namely their e-mail addresses & names.

As the messages get forwarded along, the list of addresses builds, and builds, and builds, and all it takes is for some poor sap to get a virus, and his or her computer can send that virus to every email address that has come across his computer. Or, someone can take all of those addresses and sell them or send junk mail to them in the hopes that you will go to the site and he will make five cents for each hit. That's right, all of that inconvenience over a nickel! How do you stop it?

Well, there are several easy steps:
(1) When you forward an e-mail, DELETE all of the other addresses that appear in the body of the message (at the top). That's right, DELETE them. Highlight them and delete them, backspace them, cut them, whatever you know how to. It only takes a second. You MUST click the 'Forward' button first and then you will have full editing capabilities against the body and headers of the message. If you don't hit the forward button first you won't have full editing functions. I particularly dislike having to scroll through 200 Email addresses before I get to the email.

(2) Whenever you send an e-mail to more than one person, do NOT use the "To:" or "Cc:" fields for adding e-mail addresses.. Always use the BCC: (blind carbon copy) field for listing the e-mail addresses. This is the way the people you send to will only see their own e-mail address. If you don't see your "BCC:" option click on where it says To: and your address list will appear. Highlight the address and choose BCC: and that's it, it's that easy. When you send to BCC: your message will automatically say 'Undisclosed Recipients' in the 'TO:' field of the people who receive it. That way you aren't sharing all those addresses with every Tom, Dick or Harry.

(3) Remove any 'FW:' in the subject line. You can re-name the subject if you wish or even fix spelling.

This one is very important
.
Please read and heed (4) ALWAYS hit your Forward button from the actual e-mail you are reading. Ever get those e-mails that you have to open 10 pages to read the one page with the information on it? By Forwarding from the actual page you wish someone to view, you stop them from having to open many e-mails just to see what you sent. These are the ones that often end up having picked up a virus from somebody.

This is really important!
(5) Have you ever gotten an email that is a petition? It states a position and asks you to add your name and address and to forward it to 10 or 15 people or your entire address book. The email can be forwarded on and on and can collect thousands of names and email addresses. A FACT: The completed petition is actually worth a couple of bucks to a professional spammer because of the wealth of valid names and email addresses contained therein. If you want to support the petition, send it as your own personal letter to the intended recipient. Your position may carry more weight as a personal letter than a laundry list of names and email address on a petition. (Actually, if you think about it, who's supposed to send the petition in to whatever cause it supports? And don't believe the ones that say that the email is being traced, it just ain't so!) .

(6) One of the main ones I hate is the ones that say that something like, 'Send this email to 10 people and you'll see something great run across your screen.' Or, sometimes they'll just tease you by saying something really cute will happen. IT AIN'T GONNA HAPPEN! (Trust me, I'm still seeing some of the same ones that I waited on 10 years ago!) I don't let the bad luck ones scare me either, they get trashed. (Could this be why I haven't won the lottery?)

(7) Before you forward an Amber Alert, or a Virus Alert, or some of the other ones floating around nowadays, check them out before you forward them. Most of them are junk mail that's been circling the net for Years! Just about everything you receive in an email that is in question can be checked out at Snopes.

Just go to http://www.snopes. com It's really easy to find out if it's real or not. If it's not, please don't pass it on. So please, in the future, let's stop the junk mail and the viruses. Finally, here's an idea!!! Let's send this to everyone we know (but strip my address off first, please!).

This is something that SHOULD be forwarded.


Bos Hebat

| 0 comments

Alkisah, di suatu tempat di Negeri Antah Berantah. Seseorang yang seringkali muncul di media massa negeri itu sebagai pembicara, motivator, pebisnis dan konsultan kesejahteraan yang sukses dan tentu saja kaya-raya sedang melakukan rapat dengan timnya. “Bagaimana penjualan buku yang saya tulis?” tanya si dia. “Wah, repot bos! Orang-orang pada belum tahu siapa bos. Jadi hasil penjualannya seret!” jelas staf marketing. “Penampilan di media-massa juga nggak terlalu terlihat hasilnya bos.” jelas staf humas. “Masih banyak buku yang menumpuk di gudang toko-toko buku yang punya jaringan nasional bos.” jelas staf sales.

“Kalian ini gimana sih? Kerja pada nggak becus! Masa jual buku saja susah?” hardik si dia dengan penuh kekesalan. “Saya sudah susah payah membentuk personal branding kemana-mana. Belum lagi ngumpulin foto-foto bareng top-top motivator dan konsultan kelas dunia. Masa nggak ada yang mau beli buku saya?” gerutu si dia dengan kegeraman yang luar biasa. “Masa buku yang penuh dengan cerita inspirasional, memberikan banyak tips cepat sukses dan kaya, di negeri yang dipenuhi dengan para pemimpi yang ingin cepat kaya, bisa kalah sama novel pop berbau Islam?” sambung si dia dengan kesal.

“Oke! Sekarang begini saja: borong semua buku-buku karangan saya dari seluruh toko buku nasional, terus buat press-release kalau buku-buku kita sudah habis terjual cetakan pertamanya dan layak dikategorikan sebagai best-seller. Nanti di cetakan keduanya dikasih cap best-seller yang lebih gede dibandingin judulnya.” perintah si dia kepada para stafnya. “Terus, untuk buku keduanya nanti bagaimana bos?” tanya staf marketingnya.

“Gampang! Nanti kita tawar-tawarkan ke beberapa orang yang loyal dan punya banyak hutang sama saya. Suruh mereka nanti beli buku kedua sebelum tanggal rilisnya. Pasti orang-orang pada heboh dan nungguin buat beli buku itu.” perintah si dia dengan semangat. “Wahh! Si bos hebat yaa?” seru seluruh stafnya kompak.

Dari: Setiabudi AKA buya'e Rania

Bos & Sekretaris

| 0 comments

Dalam lingkungan kantor, kita sering melihat berbagai macam sifat dan karakter manusia. Kadangkala kita sulit membaca karakter-karakter mereka, berikut adalah sedikit karakter dan sifat dari karyawan kantor, dalam hal ini mari kita coba fokus pada sekretaris dan atasannya saja agar kita tidak salah tanggap tentang prilaku mereka.

Disusun dan ditulis oleh pakar dalam bidangnya.

Sekretaris baik: "Pak, saya ketikin ya?"
Sekretaris genit: "Pak, saya kitikin ya?"

Boss baik: "Mau dong!"
Boss nakal: "Maauu dooooongng."

Sekretaris baik: Duduk di kursi
Sekretaris genit: Duduk di lengan-kursi

Boss baik: Menarik nafas bila melihat sesuatu yang tidak benar
Boss nakal: Menarik nafas bila melihat sekretaris yang "tidak benar"

Sekretaris baik: Memijit key-board
Sekretaris genit: Memijit si-boss

Boss baik: "Kesini!"
Boss nakal: "Sini doong"

Sekretaris baik: Smoke After Lunch
Sekretaris genit: Shower After Lunch

Boss baik: "Sini naik mobil"
Boss nakal: "Sini,.. naik dong"

Sekretaris baik: Pulang larut, lembur-banyak kerjaan
Sekretaris genit: Pulang larut, LemBur-Lempengin Burung

Boss baik: "Nanti dinner bareng ya"
Boss nakal: "Nanti supper bareng yaah"

Sekretaris baik: "Sudah siap Pak?"
Sekretaris genit: "Sudah siap belum?"

Boss baik: "Ambilkan pakaian saya di laundry"
Boss nakal: "Ambilkan handuk saya di lemari"

Sekretaris baik: Waktu tertusuk jarum "Aww"
Sekretaris genit: Waktu tertusuk jarum "Ahh"

Boss baik: "Saya puas dengan pekerjaan kamu"
Boss nakal: "Saya puas dengan permainan kamu"


Sekretaris baik: Waktu sedang tertekan "Aduuh pusing"
Sekretaris genit: Waktu sedang tertekan "Aduuhhhhhhh"

Boss baik: Memperhatikan pakaian dan kerja sekretarisnya
Boss nakal: Memperhatikan pakaian dan gaya sekretarisnya

Sekretaris baik: Pakaiannya mahal boros bahan
Sekretaris genit: Pakaiannya murah ngirit bahan

Boss baik: Suka menelan obat Dokter
Boss nakal: Suka menelan ludah

Sekretaris baik: Tebar senyum
Sekretaris genit : Tebar pesona

Boss baik: Suka daun lalapan
Boss nakal: Suka daun muda

Sekretaris baik: "Nanti mau keluar Pak?"
Sekretaris genit: "Sudah mau keluar Pak?"

Boss baik: Memilih sekretaris dari pengalaman dan kemampuannya
Boss nakal: Memilih sekretaris dari jam terbang dan keahliannya

Sekretaris baik: "Keluarnya nanti lama Pak?"
Sekretaris genit: "Keluarnya masih lama Pak?"

Boss baik: "Ini gaji kamu"
Boss nakal: "Ini bayaran kamu"

Sekretaris baik: Selalu siap melayani tamu dan bos
Sekretaris genit: Selalu siap melayani..

Karyawan baik: Membaca prosedure dan perjanjian kerja
Karyawan tidak produktif: Baca tulisan kaya' begini melulu


** Maap, tulisan ini beredar banyak banget di internet; jadi aku nggak tau aslinya dari sapa.


Sukses Bos Gepeng

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya. Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang. Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya. Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya. Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya. Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya. Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya. Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan. Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan. Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan. Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)


Resep Kue Bude

| 0 comments



BAHAN DASAR
Satu pak kasih sayang,
Satu mangkuk besar Firman Allah, dan
Satu pak doa.

BAHAN UNTUK ISI

Satu pria dan satu wanita, pilih yang benar-benar matang,
Satu gelas Kasih Sayang Murni (KSM),
Dua sendok komitmen,
Dua sendok komunikasi,
Satu butir Kesamaan visi,

Satu potong restu orang tua,

Satu gelas rasio dan emosi.


BAHAN UNTUK HIASAN -TOPPING

Humor segar dipotong kecil-kecil,

Pergi bareng secukupnya,

Saling menelpon sesuai selera.

CARA MEMBUAT
Untuk DASAR
Kocok lepas kasih sayang sampai mengembang, tambahkan Firman Allah dan doa,
aduk sampai rata dan tidak lengket.

Untuk ISI
Cuci bersih pria dan wanita, kupas kulit luarnya, lalu buang semua noda-nodanya
Rendam dalam KSM secara merata
(bila Kasih Sayang sungguh-sungguh murni, biasanya akan mudah menyerap ke dalam).
Sesudah menyerap, lumatkan jadi satu sambil perlahan-lahan dicampur dengan kesamaan visi dan restu keluarga. Bubuhkan rasio agak banyak dan emosi secukupnya.
Sebagai bahan pengawet alami, tambahkan komitmen dan komunikasi, lalu aduk rata.

Untuk TOPPING
Campurkan semua bahan yang tersedia.
Siapkan mangkuk ceper, ada baiknya berbentuk rumah sederhana,
alasi seluruh dindingnya dengan bahan dasar. Tapi ingat, jangan terlalu tipis.
Ke dalamnya masukkan semua bahan sampai penuh, taburi atasnya dengan campuran
humor segar, pergi bareng dan saling menelpon secara merata.
Panggang dengan api sedang sampai berwarna coklat keemasan dan harum.
Selanjutnya; Siap disajikan hangat-hangat.

SARAN PENYAJIAN

Kue ini bisa dimakan kapan saja, asal tidak disajikan dalam keadaan dingin, atau terlalu panas. Seandainya mulai terasa garing, tambahkan humor segar, pergi bareng, dan saling menelponlah.

Lama Persiapan
Kira-kira tiga sampai dengan enam bulan (tergantung kematangan pria dan wanita),
Lama Memasak
Kira-kira satu bulan (tergantung Doa dan kepatuhan pada Firman Allah),
Daya Tahan
Dipastikan LAMA!

TIPS
Memilih pria dan wanita harus yang segar dan matang.
Cari yang tingkat kematangannya mendekati sama. Hindarkan yang masih mengkal
(hasilnya akan sepet), atau yang terlalu tua (susah dicerna).
Matang jenis ini, walau biasanya terlihat biasa-biasa saja dan kadang-kadang agak jual mahal,
tapi hampir bisa dipastikan dalamnya baik.
Hindarkan mencari di pesta, diskotik, forum chatting, atau tempat-tempat sejenisnya,
karena walaupun kelihatan dari luar bagus, mulus, dan mungkin lebih mudah didapat,
tapi dalamnya sangat diragukan.

Usahakan agar selalu menggunakan HANYA satu pria dan satu wanita.
Bila anda coba menambahkan pria atau wanita lain, baik untuk bahan isi atau sekedar hiasan,
kue akan cepat basi dan tidak dapat dinikmati lagi.

Gunakan Kasih Sayang Murni (produknya cari sendiri, asal jangan dari merek-merek jelek),
dan pastikan di dalamnya sudah terkandung unsur-unsur vitamin dan mineral lengkap, seperti : pengertian, sabar, rendah dan murah hati, sopan, tidak sombong, tidak egois,
bukan pencemburu, pemarah, apalagi pendendam.

INI PENTING
Hindarkan upaya mendapatkan rasa yang sensasional dengan mengikuti resep-resep modern
seperti misalnya, mencoba mengganti KSM ini dengan PMX (Pre-Marital Sex).
Karena sudah terbukti bahwa hasilnya tidak selalu menggembirakan.
Walaupun pada awalnya terasa luar biasa, nikmat, dan lezat,
namun segera saja akan terasa hambar, bahkan bisa jadi sangat pahit.
Karenanya disarankan untuk sebaiknya TIDAK dicoba.

Walau biasanya terasa hangat, gurih dan enak, namun karena kondisi lingkungan,
kadang-kadang kue ini bisa terasa agak basi, garing, atau dingin.
Tidak usah khawatir, ini proses alami yang wajar.
Hangatkanlah dengan beberapa pertemuan, dan bubuhkan saja doa, komitmen,
serta komunikasi guna mempertahankan keawetan dan mengembalikan citarasanya semula.

SELAMAT MENCOBA!




Teman & Luka

| 0 comments

Pernah ada seorang anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi ia sekantung penuh paku dan menyuruhnya menanamkan sebatang paku di pagar pekarangan setiap kali dia kehilangan kesabarannya, atau berselisih paham dengan orang lain.

Hari pertama dia menanam 37 batang di pagar. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipergunakannyapun dari hari ke hari semakin berkurang. Dia menyadari bahwa lebih mudah menahan diri daripada memaku di pagar, hingga akhirnya tiba hari di mana ia tidak perlu lagi menanamkan sebatang pakupun di pagar, dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.

Kini sang Ayah memintanya untuk mencabut sebatang paku - yang pernah ditanamnya di pagar - setiap kali ia berhasil menahan diri dan bersabar. Hari-hari berlalu, dan akhirnya tiba juga hari di mana dengan gembira ia menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.

Sang ayah kemudian membimbing anaknya ke dekat pagar dan berkata: "Anakku, engkau sudah berlaku baik, tetapi coba lihat, berapa banyak sudah lubang yang kau buat di pagar ini? Ketahuilah, pagar ini tidak akan pernah kembali lagi seperti semula. Jika engkau berselisih paham, apalagi sampai bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu akan meninggalkan luka seperti yang terjadi pada pagar ini. Bisa saja engkau menorehkan sebilah sembilu ke tubuh seseorang dan segera menariknya kembali. Tetapi tetap saja itu akan meninggalkan luka. karenanya, tidak perduli berapa kali kemudian engkau akan meminta maaf karena menyesal, luka dari prilakumu yang menyakiti hati orang lain akan sama perihnya seperti luka fisik akibat torehan sembilu."

Lalu: "Teman adalah perhiasan yang langka. Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat. Mereka bersedia mendengarkan jika hal itu kau perlukan. Mereka selalu mendukung dan menjaga perasaanmu. Karenanya, tunjukkan pulalah kepada teman-temanmu betapa kau sungguh-sungguh menyukai dan meghargai mereka!”

Dari Abdul Basith

Hakim Yang Manusia

| 0 comments

Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh adalah secelaka-celakanya keadaan. Kebodohan ini pulalah yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.

Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. ltulah yang merupakan pasal-pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.

KEBENARAN
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain. Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal.

Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati. Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian. Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik.

Membunuh dan menganiaya dalam pikiran itu boleh-boleh saja, tetapi kalau penghakiman itu mengetok palu pada kehidupan ini, maka yang mati benar-benar mati, yang luka itu benar-benar menderita. Inilah nilai-nilai yang terasa, terhayati, eksisten, dunia itu sendiri.

Menghakimi dalam pikiran itu, selama belum dinyatakan dalam perbuatan, adalah urusan tiap orang. Tetapi, begitu dinyatakan dalam pengalaman, ia telah menyangkut banyak orang. Entah ia dinyatakan, dalam ucapan lisan atau tertulis, dan lebih-lebih dalam peristiwa.

HATI NURANI
Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal-pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia. Kebenaran obyektif itu bersifat spirifual. Orang banyak menyebutnya "Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yang lain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi kebenaran itu ada di lubuk hati manusia. Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.

Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya sendiri. ltulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana.

Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan.

Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh". Celakalah negeri yang dipenuhi oleh hakim:hakim bodoh semacam itu. Hakim-hakim (kita-kita ini) yang menghakimi secara cepat berdasar kebenaran subyektifnya yang instan, serta hakim-hakim yang tidak bernurani. Agar tidak bodoh, diperlukan keterbukaan sikap dan spiritualitas.

KEBENARAN SUBJEKTIF
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif, dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.

Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.

Hakim manusia yang terbuka dan reflektif itulah yang obyektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan spiritualnya. Ia mampu melihat kebenaran dan kesalahan yang melampaui batas-batas kebenarannya yang subyektif, personal, maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan. Kebenaran yang padanya saya menyatakan ya, bernilai positif dan saya butuhkan, selalu lebih besar, lebih luas, dan lebih dalam dari dunia ini. Orang kadang melakukan perbuatan benar atau salah di luar dugaan siapa pun sehingga orang dibuat bingung untuk menilainya.

Kebiasaan kita yang dengan cepat menghakimi orang lain tanpa lebih dulu memahami peristiwanya, nyaris merupakan cara hidup mutakhir kita. Kita menjadi "hakim yang bodoh". Dan, kebodohan menyesatkan manusia. Karenanya janganlah menghakimi, karena kita akan dihakimi sesuai penghakiman kita.

[JAKOB SUMARDJO Esais – KOMPAS Sabtu 16 Juni 2007]