Hakim Yang Manusia

|

Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh adalah secelaka-celakanya keadaan. Kebodohan ini pulalah yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.

Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. ltulah yang merupakan pasal-pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.

KEBENARAN
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain. Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal.

Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati. Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian. Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik.

Membunuh dan menganiaya dalam pikiran itu boleh-boleh saja, tetapi kalau penghakiman itu mengetok palu pada kehidupan ini, maka yang mati benar-benar mati, yang luka itu benar-benar menderita. Inilah nilai-nilai yang terasa, terhayati, eksisten, dunia itu sendiri.

Menghakimi dalam pikiran itu, selama belum dinyatakan dalam perbuatan, adalah urusan tiap orang. Tetapi, begitu dinyatakan dalam pengalaman, ia telah menyangkut banyak orang. Entah ia dinyatakan, dalam ucapan lisan atau tertulis, dan lebih-lebih dalam peristiwa.

HATI NURANI
Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal-pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia. Kebenaran obyektif itu bersifat spirifual. Orang banyak menyebutnya "Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yang lain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi kebenaran itu ada di lubuk hati manusia. Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.

Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya sendiri. ltulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana.

Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan.

Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh". Celakalah negeri yang dipenuhi oleh hakim:hakim bodoh semacam itu. Hakim-hakim (kita-kita ini) yang menghakimi secara cepat berdasar kebenaran subyektifnya yang instan, serta hakim-hakim yang tidak bernurani. Agar tidak bodoh, diperlukan keterbukaan sikap dan spiritualitas.

KEBENARAN SUBJEKTIF
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif, dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.

Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.

Hakim manusia yang terbuka dan reflektif itulah yang obyektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan spiritualnya. Ia mampu melihat kebenaran dan kesalahan yang melampaui batas-batas kebenarannya yang subyektif, personal, maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan. Kebenaran yang padanya saya menyatakan ya, bernilai positif dan saya butuhkan, selalu lebih besar, lebih luas, dan lebih dalam dari dunia ini. Orang kadang melakukan perbuatan benar atau salah di luar dugaan siapa pun sehingga orang dibuat bingung untuk menilainya.

Kebiasaan kita yang dengan cepat menghakimi orang lain tanpa lebih dulu memahami peristiwanya, nyaris merupakan cara hidup mutakhir kita. Kita menjadi "hakim yang bodoh". Dan, kebodohan menyesatkan manusia. Karenanya janganlah menghakimi, karena kita akan dihakimi sesuai penghakiman kita.

[JAKOB SUMARDJO Esais – KOMPAS Sabtu 16 Juni 2007]

0 comments: