Resep Kue Bude

| 0 comments



BAHAN DASAR
Satu pak kasih sayang,
Satu mangkuk besar Firman Allah, dan
Satu pak doa.

BAHAN UNTUK ISI

Satu pria dan satu wanita, pilih yang benar-benar matang,
Satu gelas Kasih Sayang Murni (KSM),
Dua sendok komitmen,
Dua sendok komunikasi,
Satu butir Kesamaan visi,

Satu potong restu orang tua,

Satu gelas rasio dan emosi.


BAHAN UNTUK HIASAN -TOPPING

Humor segar dipotong kecil-kecil,

Pergi bareng secukupnya,

Saling menelpon sesuai selera.

CARA MEMBUAT
Untuk DASAR
Kocok lepas kasih sayang sampai mengembang, tambahkan Firman Allah dan doa,
aduk sampai rata dan tidak lengket.

Untuk ISI
Cuci bersih pria dan wanita, kupas kulit luarnya, lalu buang semua noda-nodanya
Rendam dalam KSM secara merata
(bila Kasih Sayang sungguh-sungguh murni, biasanya akan mudah menyerap ke dalam).
Sesudah menyerap, lumatkan jadi satu sambil perlahan-lahan dicampur dengan kesamaan visi dan restu keluarga. Bubuhkan rasio agak banyak dan emosi secukupnya.
Sebagai bahan pengawet alami, tambahkan komitmen dan komunikasi, lalu aduk rata.

Untuk TOPPING
Campurkan semua bahan yang tersedia.
Siapkan mangkuk ceper, ada baiknya berbentuk rumah sederhana,
alasi seluruh dindingnya dengan bahan dasar. Tapi ingat, jangan terlalu tipis.
Ke dalamnya masukkan semua bahan sampai penuh, taburi atasnya dengan campuran
humor segar, pergi bareng dan saling menelpon secara merata.
Panggang dengan api sedang sampai berwarna coklat keemasan dan harum.
Selanjutnya; Siap disajikan hangat-hangat.

SARAN PENYAJIAN

Kue ini bisa dimakan kapan saja, asal tidak disajikan dalam keadaan dingin, atau terlalu panas. Seandainya mulai terasa garing, tambahkan humor segar, pergi bareng, dan saling menelponlah.

Lama Persiapan
Kira-kira tiga sampai dengan enam bulan (tergantung kematangan pria dan wanita),
Lama Memasak
Kira-kira satu bulan (tergantung Doa dan kepatuhan pada Firman Allah),
Daya Tahan
Dipastikan LAMA!

TIPS
Memilih pria dan wanita harus yang segar dan matang.
Cari yang tingkat kematangannya mendekati sama. Hindarkan yang masih mengkal
(hasilnya akan sepet), atau yang terlalu tua (susah dicerna).
Matang jenis ini, walau biasanya terlihat biasa-biasa saja dan kadang-kadang agak jual mahal,
tapi hampir bisa dipastikan dalamnya baik.
Hindarkan mencari di pesta, diskotik, forum chatting, atau tempat-tempat sejenisnya,
karena walaupun kelihatan dari luar bagus, mulus, dan mungkin lebih mudah didapat,
tapi dalamnya sangat diragukan.

Usahakan agar selalu menggunakan HANYA satu pria dan satu wanita.
Bila anda coba menambahkan pria atau wanita lain, baik untuk bahan isi atau sekedar hiasan,
kue akan cepat basi dan tidak dapat dinikmati lagi.

Gunakan Kasih Sayang Murni (produknya cari sendiri, asal jangan dari merek-merek jelek),
dan pastikan di dalamnya sudah terkandung unsur-unsur vitamin dan mineral lengkap, seperti : pengertian, sabar, rendah dan murah hati, sopan, tidak sombong, tidak egois,
bukan pencemburu, pemarah, apalagi pendendam.

INI PENTING
Hindarkan upaya mendapatkan rasa yang sensasional dengan mengikuti resep-resep modern
seperti misalnya, mencoba mengganti KSM ini dengan PMX (Pre-Marital Sex).
Karena sudah terbukti bahwa hasilnya tidak selalu menggembirakan.
Walaupun pada awalnya terasa luar biasa, nikmat, dan lezat,
namun segera saja akan terasa hambar, bahkan bisa jadi sangat pahit.
Karenanya disarankan untuk sebaiknya TIDAK dicoba.

Walau biasanya terasa hangat, gurih dan enak, namun karena kondisi lingkungan,
kadang-kadang kue ini bisa terasa agak basi, garing, atau dingin.
Tidak usah khawatir, ini proses alami yang wajar.
Hangatkanlah dengan beberapa pertemuan, dan bubuhkan saja doa, komitmen,
serta komunikasi guna mempertahankan keawetan dan mengembalikan citarasanya semula.

SELAMAT MENCOBA!




Teman & Luka

| 0 comments

Pernah ada seorang anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi ia sekantung penuh paku dan menyuruhnya menanamkan sebatang paku di pagar pekarangan setiap kali dia kehilangan kesabarannya, atau berselisih paham dengan orang lain.

Hari pertama dia menanam 37 batang di pagar. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipergunakannyapun dari hari ke hari semakin berkurang. Dia menyadari bahwa lebih mudah menahan diri daripada memaku di pagar, hingga akhirnya tiba hari di mana ia tidak perlu lagi menanamkan sebatang pakupun di pagar, dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.

Kini sang Ayah memintanya untuk mencabut sebatang paku - yang pernah ditanamnya di pagar - setiap kali ia berhasil menahan diri dan bersabar. Hari-hari berlalu, dan akhirnya tiba juga hari di mana dengan gembira ia menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.

Sang ayah kemudian membimbing anaknya ke dekat pagar dan berkata: "Anakku, engkau sudah berlaku baik, tetapi coba lihat, berapa banyak sudah lubang yang kau buat di pagar ini? Ketahuilah, pagar ini tidak akan pernah kembali lagi seperti semula. Jika engkau berselisih paham, apalagi sampai bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu akan meninggalkan luka seperti yang terjadi pada pagar ini. Bisa saja engkau menorehkan sebilah sembilu ke tubuh seseorang dan segera menariknya kembali. Tetapi tetap saja itu akan meninggalkan luka. karenanya, tidak perduli berapa kali kemudian engkau akan meminta maaf karena menyesal, luka dari prilakumu yang menyakiti hati orang lain akan sama perihnya seperti luka fisik akibat torehan sembilu."

Lalu: "Teman adalah perhiasan yang langka. Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat. Mereka bersedia mendengarkan jika hal itu kau perlukan. Mereka selalu mendukung dan menjaga perasaanmu. Karenanya, tunjukkan pulalah kepada teman-temanmu betapa kau sungguh-sungguh menyukai dan meghargai mereka!”

Dari Abdul Basith

Hakim Yang Manusia

| 0 comments

Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh adalah secelaka-celakanya keadaan. Kebodohan ini pulalah yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.

Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. ltulah yang merupakan pasal-pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.

KEBENARAN
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain. Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal.

Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati. Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian. Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik.

Membunuh dan menganiaya dalam pikiran itu boleh-boleh saja, tetapi kalau penghakiman itu mengetok palu pada kehidupan ini, maka yang mati benar-benar mati, yang luka itu benar-benar menderita. Inilah nilai-nilai yang terasa, terhayati, eksisten, dunia itu sendiri.

Menghakimi dalam pikiran itu, selama belum dinyatakan dalam perbuatan, adalah urusan tiap orang. Tetapi, begitu dinyatakan dalam pengalaman, ia telah menyangkut banyak orang. Entah ia dinyatakan, dalam ucapan lisan atau tertulis, dan lebih-lebih dalam peristiwa.

HATI NURANI
Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal-pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia. Kebenaran obyektif itu bersifat spirifual. Orang banyak menyebutnya "Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yang lain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi kebenaran itu ada di lubuk hati manusia. Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.

Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya sendiri. ltulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana.

Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan.

Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh". Celakalah negeri yang dipenuhi oleh hakim:hakim bodoh semacam itu. Hakim-hakim (kita-kita ini) yang menghakimi secara cepat berdasar kebenaran subyektifnya yang instan, serta hakim-hakim yang tidak bernurani. Agar tidak bodoh, diperlukan keterbukaan sikap dan spiritualitas.

KEBENARAN SUBJEKTIF
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif, dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.

Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.

Hakim manusia yang terbuka dan reflektif itulah yang obyektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan spiritualnya. Ia mampu melihat kebenaran dan kesalahan yang melampaui batas-batas kebenarannya yang subyektif, personal, maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan. Kebenaran yang padanya saya menyatakan ya, bernilai positif dan saya butuhkan, selalu lebih besar, lebih luas, dan lebih dalam dari dunia ini. Orang kadang melakukan perbuatan benar atau salah di luar dugaan siapa pun sehingga orang dibuat bingung untuk menilainya.

Kebiasaan kita yang dengan cepat menghakimi orang lain tanpa lebih dulu memahami peristiwanya, nyaris merupakan cara hidup mutakhir kita. Kita menjadi "hakim yang bodoh". Dan, kebodohan menyesatkan manusia. Karenanya janganlah menghakimi, karena kita akan dihakimi sesuai penghakiman kita.

[JAKOB SUMARDJO Esais – KOMPAS Sabtu 16 Juni 2007]