Bos Hebat

| 0 comments

Alkisah, di suatu tempat di Negeri Antah Berantah. Seseorang yang seringkali muncul di media massa negeri itu sebagai pembicara, motivator, pebisnis dan konsultan kesejahteraan yang sukses dan tentu saja kaya-raya sedang melakukan rapat dengan timnya. “Bagaimana penjualan buku yang saya tulis?” tanya si dia. “Wah, repot bos! Orang-orang pada belum tahu siapa bos. Jadi hasil penjualannya seret!” jelas staf marketing. “Penampilan di media-massa juga nggak terlalu terlihat hasilnya bos.” jelas staf humas. “Masih banyak buku yang menumpuk di gudang toko-toko buku yang punya jaringan nasional bos.” jelas staf sales.

“Kalian ini gimana sih? Kerja pada nggak becus! Masa jual buku saja susah?” hardik si dia dengan penuh kekesalan. “Saya sudah susah payah membentuk personal branding kemana-mana. Belum lagi ngumpulin foto-foto bareng top-top motivator dan konsultan kelas dunia. Masa nggak ada yang mau beli buku saya?” gerutu si dia dengan kegeraman yang luar biasa. “Masa buku yang penuh dengan cerita inspirasional, memberikan banyak tips cepat sukses dan kaya, di negeri yang dipenuhi dengan para pemimpi yang ingin cepat kaya, bisa kalah sama novel pop berbau Islam?” sambung si dia dengan kesal.

“Oke! Sekarang begini saja: borong semua buku-buku karangan saya dari seluruh toko buku nasional, terus buat press-release kalau buku-buku kita sudah habis terjual cetakan pertamanya dan layak dikategorikan sebagai best-seller. Nanti di cetakan keduanya dikasih cap best-seller yang lebih gede dibandingin judulnya.” perintah si dia kepada para stafnya. “Terus, untuk buku keduanya nanti bagaimana bos?” tanya staf marketingnya.

“Gampang! Nanti kita tawar-tawarkan ke beberapa orang yang loyal dan punya banyak hutang sama saya. Suruh mereka nanti beli buku kedua sebelum tanggal rilisnya. Pasti orang-orang pada heboh dan nungguin buat beli buku itu.” perintah si dia dengan semangat. “Wahh! Si bos hebat yaa?” seru seluruh stafnya kompak.

Dari: Setiabudi AKA buya'e Rania

Bos & Sekretaris

| 0 comments

Dalam lingkungan kantor, kita sering melihat berbagai macam sifat dan karakter manusia. Kadangkala kita sulit membaca karakter-karakter mereka, berikut adalah sedikit karakter dan sifat dari karyawan kantor, dalam hal ini mari kita coba fokus pada sekretaris dan atasannya saja agar kita tidak salah tanggap tentang prilaku mereka.

Disusun dan ditulis oleh pakar dalam bidangnya.

Sekretaris baik: "Pak, saya ketikin ya?"
Sekretaris genit: "Pak, saya kitikin ya?"

Boss baik: "Mau dong!"
Boss nakal: "Maauu dooooongng."

Sekretaris baik: Duduk di kursi
Sekretaris genit: Duduk di lengan-kursi

Boss baik: Menarik nafas bila melihat sesuatu yang tidak benar
Boss nakal: Menarik nafas bila melihat sekretaris yang "tidak benar"

Sekretaris baik: Memijit key-board
Sekretaris genit: Memijit si-boss

Boss baik: "Kesini!"
Boss nakal: "Sini doong"

Sekretaris baik: Smoke After Lunch
Sekretaris genit: Shower After Lunch

Boss baik: "Sini naik mobil"
Boss nakal: "Sini,.. naik dong"

Sekretaris baik: Pulang larut, lembur-banyak kerjaan
Sekretaris genit: Pulang larut, LemBur-Lempengin Burung

Boss baik: "Nanti dinner bareng ya"
Boss nakal: "Nanti supper bareng yaah"

Sekretaris baik: "Sudah siap Pak?"
Sekretaris genit: "Sudah siap belum?"

Boss baik: "Ambilkan pakaian saya di laundry"
Boss nakal: "Ambilkan handuk saya di lemari"

Sekretaris baik: Waktu tertusuk jarum "Aww"
Sekretaris genit: Waktu tertusuk jarum "Ahh"

Boss baik: "Saya puas dengan pekerjaan kamu"
Boss nakal: "Saya puas dengan permainan kamu"


Sekretaris baik: Waktu sedang tertekan "Aduuh pusing"
Sekretaris genit: Waktu sedang tertekan "Aduuhhhhhhh"

Boss baik: Memperhatikan pakaian dan kerja sekretarisnya
Boss nakal: Memperhatikan pakaian dan gaya sekretarisnya

Sekretaris baik: Pakaiannya mahal boros bahan
Sekretaris genit: Pakaiannya murah ngirit bahan

Boss baik: Suka menelan obat Dokter
Boss nakal: Suka menelan ludah

Sekretaris baik: Tebar senyum
Sekretaris genit : Tebar pesona

Boss baik: Suka daun lalapan
Boss nakal: Suka daun muda

Sekretaris baik: "Nanti mau keluar Pak?"
Sekretaris genit: "Sudah mau keluar Pak?"

Boss baik: Memilih sekretaris dari pengalaman dan kemampuannya
Boss nakal: Memilih sekretaris dari jam terbang dan keahliannya

Sekretaris baik: "Keluarnya nanti lama Pak?"
Sekretaris genit: "Keluarnya masih lama Pak?"

Boss baik: "Ini gaji kamu"
Boss nakal: "Ini bayaran kamu"

Sekretaris baik: Selalu siap melayani tamu dan bos
Sekretaris genit: Selalu siap melayani..

Karyawan baik: Membaca prosedure dan perjanjian kerja
Karyawan tidak produktif: Baca tulisan kaya' begini melulu


** Maap, tulisan ini beredar banyak banget di internet; jadi aku nggak tau aslinya dari sapa.


Sukses Bos Gepeng

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya. Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang. Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya. Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya. Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya. Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya. Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya. Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan. Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan. Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan. Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)